KELUARGA SAKINAH

Rumah tangga adalah suatu lembaga dimana laki-laki dan perempuan bertemu, untuk melakukan aktifitas bersama. Lembaga ini adalah perwujudan hak dan kewajiban seseorang. Artinya, kita berhak untuk berumah tangga, karena disanalah kita akan memperoleh kebahagiaan kita. Tapi kita juga berkewajiban untuk berumah tangga, karena didalamnya terdapat visi dan misi mulia yang diberikan Allah kepada kita untuk melestarikan kehidupan manusia di muka bumi.[1] Karena rumah tangga adalah organisasi, maka ia harus memiliki hirarki diantara anggotanya sekaligus aturan main dalam berorganisasi, dan begitulah Islam memberikan petunjuknya.[2]
Pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakînah. Kata sakînah (Arab) mempunyai arti ketenangan dan ketentraman jiwa. Kata ini disebutkan sebanyak enam kali dalam al-Qur’an, yaitu pada surat al-Baqarah (2):248, surat at-Taubah (9):26 dan 40, surat al-Fath (48): 4, 18, dan 26. Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa sakînah itu didatangkan Allah Swt ke dalam hati para Nabi dan orang-orang yang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi tantangan, rintangan, ujian, cobaan, ataupun musibah. Sehingga sakînah dapat juga dipahami dengan “sesuatu yang memuaskan hati”.[3]
Istilah “keluarga sakînah” merupakan dua kata yang saling melengkapi; kata “sakinah” sebagai kata sifat, yaitu untuk menyifati atau menerangkan kata “keluarga”. Keluarga sakînah digunakan dengan pengertian keluarga yang tenang, tentram, bahagia, dan sejahtera lahir batin.
Munculnya istilah keluarga sakînah ini sesuai dengan firman Allah surat ar-Rûm (30): 21, yang menyatakan bahwa tujuan berumah tangga atau berkeluarga adalah untuk mencari ketenangan dan ketentraman atas dasar mawaddah dan rahmah, saling mencintai dan penuh rasa kasih sayang antara suami istri.
Dalam keluarga sakînah, setiap anggotanya merasakan suasana tentram, damai, bahagia, aman, dan sejahtera lahir dan batin. Sejahtera lahir adalah bebas dari kemiskinan harta dan tekanan-tekanan penyakit jasmani. Sedangkan sejahtera batin adalah bebas dari kemiskinan iman, serta mampu mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.[4]
Dengan pernikahan, ikatan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) antara suami dan istri akan semakin bertambah. Masing-masing merasakan ketenangan, kelembutan dan keramahan serta mendapatkan kebahagiaan di bawah naungan satu dengan yang lain. Suami yang selesai bekerja, kemudian kembali ke rumahnya di sore hari dan berkumpul bersama keluarga, ia akan melupakan semua duka yang ia temui di siang hari dan segala kelelahan yang dirasakannya pada waktu bekerja, demikian pula istrinya.
Demikianlah masing-masing dari suami-istri, satu sama lain menemukan ketenangan jiwa pada saat perjumpaannya. Keduanya saling merasakan kedamaian hati dan kegembiraan pada detik-detik pertemuan. Di lain pihak, anggota keluarga lainnya juga merasa tentram disebabkan perhatian dan tanggung jawab sang ayah. Semua tugas dan peran masing-masing pihak dalam keluarga dijalankan dengan baik, sehingga akan senantiasa hadir keharmonisan hidup.
Oleh karena itu, apabila suami-istri ingin mencapai keharmonisan dan mempertahankan mahligai keluarga dari hantaman ombak samudera, keduanya harus mampu memahami kembali makna pernikahan dan konsep berkeluarga. Selain itu, keduanya harus menghayati nilai-nilai yang mampu mendatangkan keniscayaan, mawaddah, dan rahmah yang secara konsisten dijabarkan dalam setiap dimensi kehidupan berkeluarga. Konsep tersebut itulah yang sering dikenal dengan 3T yaitu: tâ’aruf (mengenal), tafâhum (saling memahami), dan takâful (senasib sepenanggungan). Nilai-nilai inilah yang harus dimiliki oleh suami-istri untuk membangun dan menerjemahkan hak dan kewajiban dalam setiap derap langkah keluarga.





[1] Agus Mustofa, Poligami Yuuk!? Benarkah al-Qur’an Menyuruh Berpoligami Karena Syahwat, Surabaya: PADMA Press, 2004, 130.
[2] Ibid, 132.
[3] Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004, 3.
[4] Ibid, 6.

No comments:

Post a Comment