HALAL DAN HARAM DALAM MAKANAN


Kata halal berasal dari bahasa arab yang berarti “melepaskan” dan “tidak terikat”. Secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Prinsip dasar yang ditetapkan Islam, pada asalnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah itu halal. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat periwayatnya) dan sharih (jelas maknanya) dari pemilik syari’at (Allah swt). Kalau tidak ada nash yang sah dikarenakan ada sebahagian hadist lemah atau tidak ada nash yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut sebagaimana asalnya yaitu mubah.[1]
Agama Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk memakan makanan yang halal dan baik. Makanan “Halal” maksudnya makanan yang diperoleh dari usaha yang diridhai Allah. Sedangkan makanan yang “baik” adalah yang bermanfaat bagi tubuh, bersifat bersih, higienis, makanan bergizi, berkualitas dan bermutu baik.
Dalam mengkonsumsi makanan, kita harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat. Di antara aturan itu adalah yang terdapat dalam surat Al-Nahl ayat 144, Allah berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَ اشْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَاهُ تَعْبُدُونَ
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”. (QS.An-Nahl:144).
Adapun kriteria halal-haram untuk pangan, obat, dan kosmetik yang menjadi hal penting yang harus diketahui oleh konsumen. Kriteria halal tersebut adalah thayyib (baik). Sedangkan kriteria haram itu ada lima, yaitu khabits (buruk), berbahaya, najis, memabukkan, dan terbuat dari organ tubuh manusia.[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan makanan halal menurut Himpunan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah makanan yang dibolehkan untuk dikonsumsi menurut ajaran Islam. Adapun syarat-syarat produk makanan halal menurut syari’at Islam antara lain:
1.    Halal zatnya, artinya halal dari hukum asalnya misalkan sayuran.
2.    Halal cara memperolehnya, artinya cara memperolehnya sesuai dengan syari’at Islam misalkan tidak dengan mencuri.
3.    Halal dalam memprosesnya, misalkan proses menyembelih binatang dengan syari’at Islam misalkan dengan membaca basmalah.
4.    Halal dalam penyimpananya, tempat penyimpananya, tidak mengandung barang yang diharamkan, seperti babi dan anjing (binatang yang diharamkan oleh Allah).
5.    Halal dalam pengangkutanya, misalkan binatang yang mati dalam pengangkutan sekalipun baru sebentar, tidak boleh ikut disembelih dan dikonsumsi oleh manusia.
6.    Halal dalam penyajianya, artinya dalam penyajian tidak mengandung barang yang diharamkan menurut syari’at Islam.
يَآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّماَ الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَ الأَنْصَابُ وَ الأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطاَنِ فَاجْتَنْبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan itu) agar kamu beruntung.” (QS.Al-Maidah: 90).
Berdasar surat di atas yang berkaitan dengan pembolehan dan pelarangan memakan dan meminum sesuatu, jika seseorang mengkonsumsi minuman dan makanan yang haram maka akan tercermin sikap dan perilaku yang tidak baik. Sehingga memilih makanan yang baik dan halal merupakan kewajiban yang harus dijalankan bagi setiap muslim khususnya. Maka para Ulama menyimpulkan dalam suatu kaidah bahwa:
Hukum asal sesuatu boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya”.
Dengan demikian, sepanjang tidak ada dalil yang melarang memakan dan meminum sesuatu, maka hukum memakan dan meminum sesuatu itu boleh.



[1] Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2007, hlm 36.
[2] Ali Mustafa Yaqup, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, Dan Kosmetika Menurut al-Qur’an Dan Hadist, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2009, hlm173.

SERTIFIKASI HALAL


Sertifikasi halal merupakan langkah awal pencantuman label halal, proses mendapatkan sertifikasi halal, yaitu melalui MUI yang memiliki perangkat yaitu LP POM dan komisi fatwa. LP POM melakukan pegkajian dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasilnya dibawa ke komisi fatwa yang akan dibahas dari tinjauan syariah.
Pertemuan sains dan syariah inilah yang akan dijadikan dasar penetapan fatwa oleh komisi fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI. Jadi, sertifikasi halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam.
Adapun kriteria produk sertifikat halal yaitu:
1. Produk tidak mengandung babi atau produk-produk yang mengandung babi.
2.    Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti: bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dsb.
3.    Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at islam.
4.    Semua makanan dan minuman tidak mengandung khamar.
5.  Semua tempat yang digunakan dalam proses pembuatan harus dalam keadaan bersih dan digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan babi.
Sertifikasi juga menjadi keharusan bagi produsen, berbagai peraturan yang mendorong sertifikai halal adalah sebagai berikut:
1.    Menurut UU No. 7 / 1996 tentang pangan, pasal 30 yang mengatakan bahwa LABEL memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
a.    Nama produk.
b.    Daftar bahan yang digunakan.
c.     Berat bersih atau isi bersih.
d.    Nama dan alamat perusahaan (produsen/importir).
e.     Keterangan tentang halal.
f.      Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
Pasal 41, juga yang mengatakan bahwa produsen bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksi.
2.    UU No.8 / 1999 tentang perlindungan konsumen. Pasal 4 huruf C mengatakan konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Pasal 8 ayat (1) huruf h mengatakan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
Setiap produsen yang mengajukan sertifikat halal bagi produknya, diwajibkan mengisi formulir yang telah disediakan dengan melampirkan:
1.    Spesifikasi dan sertifikasi halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alur proses produksi.
2.    Sertifikat halal atau surat keterangan halal dari MUI daerah (produk lokal) atau sertifikat halal dari lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunanya.
3.    Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaanya.
Adapun proses sertifikasi halal yang dilakukan LP POM MUI adalah sebagai berikut:
1.    Tim auditor LP POM MUI melakukan pemerikasaan atau audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampiranya dikembalikan ke LP POM MUI dan diperiksa kelengkapanya.
2.    Hasil pemeriksaan atau audit dan hasil labolatorium dievaluasi dalam rapat tenaga ahli LP POM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil udit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalanya. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.
3.    Sertifikat halal dikeluarkan oleh majelis ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalanya oleh Komisi Fatwa MUI.
4.    Perusahaan yang produknya telah mendapat sertifikat halal, harus mengangkat auditor halal internal sebagai bagian dari sistem jaminan halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya, auditor halal internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat “ketidak beratan penggunaanya”. Bila ada perusahaan yang terkait dengan produk halal hasil dikonsultasikan dengan LP POM MUI oleh auditor halal internal.



KONSEP ULAMA DALAM AL-QUR’AN


Term/kata ulama disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak dua, pertama terdapat di surat asy-Syu’ara ayat 197 dan kedua terdapat di surat al-Fatir ayat 28.[1] Akan tetapi untuk mendapatkan pengertian ulama secara komprehenshif penulis mendasarkan pada ayat-ayat yang secara langsung menyinggung kata ulama maupun tidak, seperti hanya QS. az-Zumar ayat 9, surat Ali Imron ayat 164, surat al-Baqarah 151 dan lain sebagainya. 
Dalam merumuskan kaitannya dengan konsep ulama penulis membagi dengan empat kategori, yakni karakteristik, kedudukan, tugas dan keutamaan ulama. Ketika M. Quraish Shihab memaparkan karakter ulama, dia mendasarkan pada dua ayat, yaitu QS. asy-Syuara ayat 197 dan al-Fatir ayat 28.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ulama yang terdapat dalam surat asy-Syu’ara ayat 97 terambil dari kata (عَلِمَ) ālima (orang yang mengetahui). Pengetahuan disini menurutya adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan tidak terbatas hanya kepada orang-orang Muslim, siapapun yang memiliki pengetahuan tersebut, dia-lah yang disebut ulama.[2] Hal ini disebabkan karena M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat memperhatikan konteks ayat yang turun pada waktu itu yaitu mereka orang-orang Bani Israil mengetahui tentang sifat al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan kebenaran sifat-sifat yang disandangnya karena sesuai dengan apa yang mereka ketahui melalui kitab suci mereka, bahkan mengetahui pula kebenaran kandungannya.
Selanjutnya M. Quraish Shihab juga memperhatikan gaya bahasa atau kosa kata dan munāsabah ayat yaitu hubungan dengan ayat sebelumnya ataupun sesudahnya.[3] Ini terlihat ketika dia menafsirkan kata ulama, yaitu orang yang mengetahui tentang al-Qur’an, hal ini karena ayat sebelumnya menjelaskan berkaitan al-Qur’an dan Nabi Muhammad yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu seperti hanya Injil, Zabur, Taurat. Akan tetapi, orang-orang tidak mau mempelajarnya dan juga menolak kebenaran kitab al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Padahal ulama Bani Israil mengetahui akan perkara tersebut.
Lain pula ketika M. Quraish Shihab menafsirkan ayat kedua surat al-Fatir ayat 28. Dalam pernyataannya yang dimaksud ulama disini adalah seseorang yang mengetahui, baik berkaitan dengan ilmu agama ataupun fenomena alam, serta dengan pengetahuannya mengantarkan dirinya Khasyah (memiliki rasa takut) kepada Allah. Khasyah dimaksudkan disini menurut pakar bahasa al-Qur’an, ar-Raghīb al-Ashfăhănī,[4] adalah rasa takut ya ng disertai penghormatan yang lahir akibat pengetahuan tentang objek.[5] Penyataan di dalam al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat tersebut hanya ulama, mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya bukanlah ulama.
Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat kedua tentu berbeda, yaitu jika ayat pertama merujuk kata ulama hanya orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an, maka ayat yang kedua cakupannya lebih luas. M. Quraish Shihab menafsirkan surat al-Fatir ayat 28, yaitu dengan merujuk pada akar kata ulama adalah bentuk jamak dari kata (عَالِمٌ) ālim yang berarti (mengetahui secara jelas). Karena itu, semua kata yang terbentuk oleh huruf-huruf ain, lam, mīm selalu menunjuk kepada kejelasan, seperti (عَلَمَ) ‘alam/bendera, (عَالَمٌ) ălam/alam raya makhluk yang memiliki rasa dan atau kecerdasan, (عَلاَّمَة) alămah/alamat.[6] 
M. Quraish Shihab juga menambahkan munassabah ayat sebagai penunjang untuk menafasirkannya sebagaimana dijelaskan dalam ayat sebelumnya (surat al-Fatir [35] ayat 27) bahwa al-Qur’an menyinggung tentang fenomena alam, yaitu meliputi proses penurunan hujan, dan dari hujan tersebut tumbuh-tumbuhan akan menghasilkan buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya, serta keaneka ragaman tentang penggambaran gunung. Oleh karenanya, M. Quraish Shihab mengisyaratan bahwa pengetahuan tentang fenomena alam begitu penting dan bila diantara kita memiliki pengetahuan berkaitan dengan fenomena alam dalam dan dengan pengetahuannya mengantarkan dirinya takut kepada Allah maka orang tersebut bisa dikatakan ulama.
Pandangan berbeda datang dari ahli tafsir Sayyid Muhammad Husain at-abaabaī dalam tafsirnya al-Mizān. Dia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengerti akan dzat Allah, nama-namanya, sifat-sifat dan perbuatannya secara sempurna, yang dapat menenangkan hati mereka, menghilangkan rasa ragu-ragu dari hatinya, bekasnya akan nampak dalam semua amalnya, lalu semua perbuatan dan perkataannya akan menjadi benar. Yang dimaksud dengan khasyah adalah benar-benar takut dan kekhusyukan batinnya dan kerendahan ḍzohirnya akan selalu menyertainya. 
abaabaī lebih lanjut juga menjalaskan dalam tafsirnya bahwa kata: Innamā yakhsyallaha min ‘ibādihil ulamā, adalah ‘adat isti’naf. Kata innamā menjelaskan bahwa ibarat ayat ini memberikan bekas dan mewariskan iman kepada Allah secara hakikat, dan takut yang sebenarnya hanya terdapat pada ulama bukan orang-orang bodoh. Sungguh telah lewat bahwa peringatan hanya bisa dilalui oleh mereka (ulama) sebagaimana firman Allah:
إِنَّماَ تُنْذِرُ الَّذِيْنَ يَخْشَونَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَ أَقامُوا الصَّلاَةَ
Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya, (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sholat. (QS. al-Fatir, ayat 18).[7]
Maka ayat ini seperti menjelaskan terhadap makna ayat Innamā yakhsyallaha yang menjelskan bahwa takut yang secara hakikat hanya bisa ditemukan pada diri ulama.
Yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengerti akan dzat Allah, nama-namanya, sifat-sifat dan perbuatannya secara sempurna yang dapat menenangkan hati mereka, menghilangkan rasa ragu-ragu dari hatinya, bekasnya akan nampak dalam semua amalnya  lalu  semua  perbuatan  dan perkataannya  akan  menjadi  benar.  Yang dimaksud dengan khasyah adalah benar-benar takut dan kekhusyukan batinnya dan kerendahan dzohirnya akan selalu menyertainya.[8]
Pendapat yang sama diungkapkan oleh ahir Ibn ‘syūr dalam Tafsir At-Tahrīr wa At-Tanwīr, bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu, sebesar itu juga kadar kekuatan khasyah/takut.
Lebih lanjut Ibnu ‘syūr menjelaskan terkait kata innamā merupakan ‘adat qosor iḍhofi yang bertujuan untuk pengkhususan makna. Maksudnya adalah orang-orang bodoh tidak akan takut kepada Allah, karena mereka adalah ahlu syirik, terlebih orang-orang yang memiliki sifat-sifat seperti itu termasuk orang-orang jahiliyyah (tidak memiliki pengetahuan). Orang-orang mukmin, pada saat itu adalah para ulama, dan sebaliknya orang-orang musyrik yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah bukan ulama. Kemudian ulama dalam tingkat ketakutannya sangat berbeda-berbeda.
Didahulukan kata yahsya dari fa’il-nya karena sesungguhnya bertujuan untuk pembatasan. Hal tersebut ditunjukan kepada ulama, yakni orang yang takut kepada Allah maka mengakhirkan fa’il hukumnya wajib daripada mengakhirkan fi’il-nya, dan perlu diketahui bahwa ahir Ibn ‘syūr dalam menafsirkan surat al-Fatir ayat 28 lebih menitik beratkan pada gaya bahasa.[9]
Berdasarkan penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, pengertian ulama dalam al-Qur’an adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang jelas tentang ilmu agama, kitab suci dan ayat-ayat Allah lainnya yang ada di muka bumi, yang dengan pengetahuannya itu menghantarkan orang tersebut memiliki khasyah (rasa takut) kepada Allah. Inilah konsep ulama menurut penulis dengan mengacu penafsiran M, Quraish Shihab atas surat asy-Syu’ara ayat 197 dan kedua terdapat di surat al-Fatir ayat 28. 
Di sini juga dapat diketahui bahwa hal yang mempengaruhi penafsiran M. Quraish Shihab atas ayat-ayat tersebut adalah metode/pendekatan yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, sebagaimana telah dijelaskan bahwa M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ayat tersebut menggunakan beberapa pendekatan,  antara lain: kosa kata atau gaya bahasa, munāsabah ayat, konteks sosial historis, baik pada waktu turunnya ayat atau kondisi dari mufassir sendiri.
Mengenai kedudukan ulama, M. Quraish Shihab mendasari pada QS. Al-Fatir [35]: 32 yang menjelaskan tentang pewarisan al-Kitab kepada hamba-hamba yang telah dipilih oleh Tuhan yakni Nabi Muhammad. Dalam konteks ini memang M. Quraish Shihab tidak secara langsung menyinggung ayat terkait ulama, melainkan kenabian. Hal ini menunjukan bahwa ulama adalah pewaris para nabi sebagaimana sabda Rasul:
إِنَّ الْعَلَماَءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.”[10]
Ayat yang dikemukakan di atas akan lebih jelas hubungannya dengan apa yang diwariskan oleh para nabi kepada ulama sekaligus fungsi yang harus mereka emban bila dihubungkan juga dengan surat al-Baqarah [2]: 213, yang berkesimpulan bahwa Tuhan mengutus nabi-nabi dan memberikan kepada mereka kitab-kitab suci agar masing-masing, melalui kitab suci, memberikan keputusan atau pemecahan terhadap apa-apa yang diperselisihkan atau dipersoalkan dalam masyarakat.[11] Menurut hemat penulis bahwa kedudukan ulama yang dimaksud surat al-Fatir ayat 32 yaitu sebagai pewaris Nabi.
Berkenan dengan tugas seorang ulama M. Quraish Shihab menitik beratkan pada ayat tentang kenabian lagi, yaitu QS. Al-Baqarah [2]: 129. Dalam tafsir al-Misbah, dia menjelaskan setidaknya ada tiga tugas seorang Nabi, yakni: Pertama, membacakan al-Qur’an, Kedua, mengajarkan al-Qur’an, dan Ketiga, yakni menyucikan diri dari segala hal yang berbau maksiat.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Hamka dalam tafsir al-Azhar, beliau menjelaskan bahwa ketika Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah supaya anak cucunya nanti dikemudian hari menjadi seorang Rasul dan Membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, yaitu perintah-perintah Ilahi untuk memupuk atau  menjelaskan  kepada  seseorang  tentang  keesaan  Tuhan. “Dan mengajarkan kepada mereka khitan dan hikmat.”
Kitab yang dimaksud ialah kumpulan daripada wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah, yang bernama al-Qur’an dan hikmat adalah kebijaksanaan di dalam cara menjalanan perintah baik di dalam perkataan, atau perbuatan atau sikap hidup Nabi itu sendiri, yang akan dijadikan contoh dan teladan bagi umatnya. Wayuzakkīhim, untuk membersihkan diri mereka baik jasmani maupun rohani.[12]
Lebih lanjut Ahmad Musthofa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya juga memaparkan bahwa yang dimaksud dengan (وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتبَ وَ الْحِكْمَةَ) mengajarkan al-Qur’an kepada mereka, di samping rahasia-rahasia syariat dan tujuan-tujuannya dengan peragaan amal dihadapan umat Islam, sehingga dapat dijadikan sebagai teladan bagi mereka, baik perkataan ataupun perbuatan.
Sedangkan kalimat (وَ يُزَكِّيْهِمْ) kemudian ia bersihkan diri dari kemusyrikan dan segala bentuk yang maksiat yang merusak jiwa dan mengotori akhlak, di samping meruntuhkan tatanan sosial, juga akan menuntun mereka di dalam membiasakan diri beramal baik, sehingga  tertanamlah naluri kebaikan yang mendapatkan ridha Allah.[13]
Dari beberapa pendapat di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa M. Quraish Shihab dalam menafsirkan berkaitan dengan tugas ulama yang mendasarkan pada ayat kenabian, tidak jauh berbeda mufassir yang lainya, yaitu membacakan al-Qur’an, mengajarkan al-Kitab dan menyucikan diri dari segala hal yang berbau maksiat.
Selanjutnya berkaitan dengan keutamaan ulama, M. Quraish Shihab menyinggunya dalam QS. al-Zumar [39]: 9, dia menjelaskan bahwa penekanan pada ayat tersebut yaitu tentang keutamaan seseorang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui. Pengetahuannya yang dimaksud ialah tentang ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik sosial ataupun agama. Kedua ilmu tersebut begitu penting karena pada hakikatnya semua ilmu adalah dari Allah.
Interpretasi yang dijelaskan di atas sama halnya dengan yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam tafsir al-Aisar, dia berkesimpulan bahwa dalam QS. Az-Zumar: 9 menjelaskan terkait keutamaan bagi orang yang berilmu atas orang yang bodoh. Dan seandainya orang yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya, niscaya kedudukan mereka akan sama. Pernyataan Syakih Abu Bakar juga mengandung peringatan yang keras terutama bagi orang yang memilki ilmu yang enggan mengamalkannya.[14]
Berbeda juga dengan pandangan Ahmad Musthofa al-Maraghi, dia menafsirkan kata (يَعْلَمُون) mengetahui, maksudnya mengetahui balasan ketika seseorang melakukkan ketaatan pada Tuhan, dan mengetahui hukuman yang akan mereka terima apabila mereka bermaksiat kepada-Nya. Sedangkan kata (لاَ يَعْلَمُونَ) tidak mengetahui, maksudnya yaitu orang-orang yang merusak amal perbuatan mereka secara membabi buta, sedang terhadap amal-amal mereka yang baik tidak mengarapkan kebaikan, dan terhadap amal-amal yang buruk mereka tidak takut kepada keburukan.[15]
Sedangkan ayat lain yang berkenaan dengan keutamaan ulama yaitu surat al-Mujadallah ayat 11. Dalam ayat tersebut, M. Quraish Shihab menjelaskan kalimat (الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ) orang yang diberi ilmu pengetahuan, adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Seseorang yang senantiasa melakukkan shalat, dzikir, beramal shaleh dan bertaqwa kepada Allah tanpa didasari dengan adanya ilmu, niscaya amal ibadah mereka kurang sempurna. Seperti hanya seseorang melakukkan shalat tanpa dilandasi dengan ilmu maka shalatnya rusak. Inilah yang menjadi titik yang begitu penting dari ayat dia atas dimana ilmu pengetahuan dan keimanan seseorang harus selaras tidak boleh berdiri sendiri.
Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Wasith, dia menjelaskan bahwa Allah secara khusus mengangkat kedudukan para ulama hingga beberapa tingkatan yang tinggi, dalam bentuk kehormatan di dunia dan di akhirat. Ini membuktikan bahwa keutamaan orang yang memiliki ilmu atau ulama lebih tinggi dari pada yang lainnya.[16]
Dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep ulama menurut M. Quraish Shihab adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang jelas terhadap agama, al-Qur’an, ilmu fenomena alam  serta dengan pengetahuan tersebut menghantarkannya memiliki rasa khasyah (takut) pada Allah dan mempunyai kedudukan sebagai pewaris  Nabi yang mampu mengemban tugas-tugasnya serta memiliki derajat yang tinggi disisi-Nya.




[1] Muhammad Fuad Abdul Bāqī, Mu’jam Mufahras li Al-Fāi Al-Qur’an, Bandung: CV. Ponogoro, Tth., hal. 604
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al–Qur’an, Volume 9, Jakarta: Lentera Hati, Cetakan Keempat, 2011, hal. 341-342
[3] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an, Tanggerang: Lentera Hati, Cetakan II, 2013, hal. 243-244
[4] Mani Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehenshif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 304
[5] Ar-Raghīb Al-Ashfăhănī, Mu’jam Mufradāt Al-fāżil Qur’an, Bairut: Dārul-Fikr, t.th, hal 106
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al–Qur’an, Volume 11, hal. 60-61
[7] M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, Tanggerang: Lentera Hati, Cetakan I, 2010, hal. 436
[8] Sayyid Muhammad Husain At-abaaba’ī, Tafsir Al-Mizān, Juz 17, Lebanon: Beirut, Tth., hal. 43
[9] Muhammad ahir Ibn ‘syūr, Tafsir At-Tahrīr wa At-Tanwīr, Tunisia: Darus Sahnūn Linnasyriwa at-Tauzī’, Tth., hal. 304-305
[10] Muhammad bin 'Isa al-Tirmiżī, Sunan Tirmiżī, Juz 3, Lebanon: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah-Beirut, 2011, hal.  477-478.
[11] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cetakan I, 2007, hal. 586
[12] Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, Juz 1-3, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2010, hal 301-311
[13] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 13, Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cetakan Kedua, 1992, hal. 397
[14] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir Al-Aisar, Jilid 6, Terj. Fityan Amaliy dan Edi Suwanto, Jakarta: Darus Sunnah, Cetakan Ketiga, 2013, hal. 340
[15] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir  Al-Maraghi,  Juz  23,  Semarang:  PT.  Karya  Toha Putra, Cetakan Kedua, 1993, hal. 278
[16] Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, Jilid 3, Terj. Muhtadi, dkk, Jakarta: Gema Ihsani, Cetakan Pertama, 2013, hal. 611

PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG UPAH BADAL HAJI


Terhadap upah badal haji didalam kitab al-Umm Imam Syafi’I berpendapat, antara lain;
قَالَ الشَّافِعِي رحمه الله تعالى لِلرَّجُلِ أَنْ يَسْتَأْجِرَ الرَّجُلَ يَحُجُّ عَنْهُ إِذَا كَانَ لاَ يَقْدِرُ عَلَى الْمَرْكَبِ لِضَعْفِهِ وَ كَانَ ذَل مَقْدِرَةٍ بِمَالِهِ وَ لِوَارِثِهِ بَعْدَهُ وَ الإِجَارَةُ عَلَى الْحَجِّ جَائِزَةٌ جَوَازُهاَ عَلَى الأَعْمَالِ سِوَاهُ بَلِ الإِجَارَةُ إِنْ شَاءَ اللهُ تعالى عَلَى الْبِرِّ خَيْرٌ مِنهَا عَلَى ماَ لاَ بِرَّ فِيْهِ وَ يَأْخُذُ مِنَ الإِجَارَةِ ماَ أَعْطَى وَ إِنْ كَثُرَ كَماَ يَأْخُذُهاَ عَلَى غَيْرِهِ لاَ فَرْقَ بَيْنَ ذَاِكَ
Imam Syafi’i berkata: “Seseorang boleh mengupah orang lain untuk menghajikan dirinya apabila ia lemah dan tidak mampu naik kendaraan, namun ia mempunyai harta yang cukup untuk ahli warisnya (keluarganya) selain upah yang dikeluarkan. Upah dalam pelaksanaan haji ini dibolehkan sebagaimana upah dalam ibadah-ibadah lain.  Bahkan upah seperti ini insya Allah lebih baik, karena dipakai dalam kebaikan …..”[1]
Mewakilkan ibadah haji termasuk perilaku berbuat taat, Imam Syafi’i memperbolehkan hal tersebut, pendapatnya adalah:
تَجُوزُ الإِجَارَةُ عَلَى الْحَجِّ وَ لاَ تَجُوزُ عَلَى الإِماَمَةِ فِي الصَّلاَةِ الْفَرَائِضِ
Diperbolehkan upah atas haji, namun tidak diperbolehkan upah untuk imam shalat fardhu.”[2]
Menurut riwayat Ahmad, mereka yang membolehkan memberi upah badal haji adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ibnu Mundzir. Dalil yang mereka ambil adalah sabda Rasulullah antara lain:
إِنَّ أَحَقَّ ماَ أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْراً كِتَابُ اللهِ
Sesungguhnya upah yang paling hak untuk kamu ambil ialah imbalan dari Kitabullah.” (HR. Bukhari)[3]
Para sahabat pernah menerima upah dari hasil ruqyah dengan surah al-Fatihah. Lalu, mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah mendengar hal itu, Rasulullah membenarkan tindakan mereka. Untuk menegaskan kehalalan perbuatan mereka, Rasulullah SAW bersabda;
احْتَجِمْ وَ اعْطِ الْحَجَّامَ أَجْرَهُ
Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.”[4]
Orang yang telah mengumpulkan semua syarat haji dari segi harta (materi), tetapi dia sudah lemah untuk melakukannya sendiri secara langsung karena tua, atau diserang penyakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, maka kewajiban untuk melaksanakannya secara langsung gugur, begitulah menurut kesepakatan ulama’ mazhab, berdasarkan firman Allah QS. al-Hajj:
وَ ماَ جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Dari penjelasan di atas menurut penulis, Imam Syafi’i menganjurkan untuk melakukan  badal  haji  karena  menurut  beliau  ibadah haji tidak gugur meskipun orang tersebut tidak mampu secara fisik karena udzur yang membuatnya tidak bisa melakukan ibadah haji sendiri maupun telah meninggal dunia, dengan catatan bahwa seseorang tersebut secara finansial mampu untuk mengupah haji kepada seseorang, dan keluarga yang ditinggal, juga mampu untuk  membiayai badal haji bagi keluarganya yang telah meninggal. Hal tersebut menurut imam Syafi’i sangat dianjurkan karena harta itu ditasyarufkan (digunakan) dalam hal kebaikan. Oleh sebab itu, beliau memperbolehkan untuk mengupah/mengambil upah badal haji atas jasa yang dilakukan pembadal.




[1] M.  Idris asy-Syafi’I Abdillah, Abu, al-Umm, Jilid  II, (Mesir:  al  Azhar,  1418  H),  135
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Darul Kitab Arabi, 1971), 186.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13 . . . 17.
[4] Ibid, 11.