ZAMAN EDAN

Zaman edan dilukiskan sebagai keadaan hilangnya kebenaran hakiki, merosotnya tatanan moral masyarakat, tidak ada lagi yang dapat dijadikan panutan, layaknya seperti halnya kedaan nihilisme yang diramalkan oleh Nietzsche. Keadaan di mana nilai-nilai mulai pudar dan runtuh, manusia yang semakin kehilangan kemanusiaannya, Tuhan sebagai panutan sudah mati, tidak dapat dijadikan pedoman.
Kegilaan ini dikonstruksi oleh keadaan yang terjadi di sekitarnya. Jika Nietzsche menganggap nihilisme terjadi akibat runtuhnya dominasi jaminan absolut yakni Tuhan, maka meurut Ranggawarsita zaman edan disebabkan oleh semakin pudarnya kasekten dari seorang Raja atau pemimpin karena sudah meninggalkan kebenaran sejati, berlindung di balik wajah  kekuasaan, yang mengakibatkan semakin semrawut dan morat-maritnya keadaan rakyatnya. Kegilaan zaman ini bisa dilihat dalam berbagaikategorinya, yakni:
1.     Keadaan Negara yang telah rusak;
Rusaknya sebuah Negara tentu dikarenakan rusaknya aparat yang mengurusinya.  Ranggawarsita menyebutkan bahwa saat zaman edan adalah ketika para Rajanya, Patih, dan seluruh aparatur Negara sudah berlaku tidak jujur, suka menfitnah, gemar menjilat, piawai bersilat lidah, dan ketagihan korupsi. Mereka tidak lagi menaati aturan-aturan yang termaktub. Keruntuhan moral inilah yang menyebabkan akan datangnya zaman kutukan (Kala Bendhu).
Keadaan yang terjadi pada saat Ranggawarsita masih hidup, tidak lebih baik dari keadaan sekarang, bahkan cenderung lebih parah. Kasus korupsi yang terjadi di Negara ini sudah begitu mendarah daging di setiap elemen aparatur Negara, baik di tingkat yang paling bawah sampai paling atas. Tidak terhitung banyaknya kasus yang melibatkan mereka. Lebih parahnya kasus-kasus tersebut seperti menguap tidak ada penyelesaiannya.
2.     Banyak orang meninggalkan aturan;
Aturan, hukum, perundang-undangan, sudah tidak lagi bermakna. Moralitas tidak lagi bernilai. Hukum sudah tidak bisa lagi ditegakkan. Hukum bisa dibeli pada saat sekarang.  Kebenaran bisa diputar-balikkan, diproduksi, dan dipaksakan. Praktek-prakter korupsi, manipulasi, yang terjadi di Negara ini dan semakin meluasnya kejahatan-kejahatan yang terjadi di masyarakat, menunjukkan orang-orang saat itu sudah meninggalkan aturan-aturan yang ada.
3.     Kehidupan masyarakat semakin kacau
Keadaan Negara yang telah rusak, dan banyaknya orang-orang yang sudah meninggalkan aturan, menjadikan kehidupan masyarakat menjadi semrawut, morat-marit, penuh kekacauan. Masyarakat benar-benar mengalami kekacauan. Mereka seperti mendapat kutukan dari Kala Bendhu (kemarahan), sebab mengejar kepentingan pribadi atau golongan. Yang ada hanyalah hukum rimba, siapa yang kuat adalah yang menang. Watak angkara murka ini menguasai keadaan, orang sudah lupa akan arti persahabatan dan kemanusiaan. Masing-masing hanya memikirkan keuntungan dan kepentingan diri sendiri maupun golongan.
4.     Benar dan salah tidak dapat lagi dibedakan
Ini menjadi semacam puncak dari kegilaan zaman itu sendiri. Ketika sudah tidak dapat lagi dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Manusia berada dalam titik nadir.  Semua nilai dibalikkan sesuai kepentingan tertentu, sampai agamapun dijadikan sebagai alat. Kebenaran seakan pudar, semu, absurd. Kebenaran dikendalikan oleh kelompok-kelompok tertentu, demi tujuan tertentu pula. Orang-orang yang bersikap sopan santun jadi terbelakang, dan sebaliknya yang ada hanyalah kepentingan-kepentingan, hawa nafsu, menjadi utama.
Kategori-kategori kegilaan atau keedanan di atas, sebenarnya bermuara pada satu titik, yakni kekuasaan. Kekuasaan inilah yang pada akhirnya menjadi kendali, pusat dari kebenaran itu sendiri, kebenaran-kebenaran itu dibentuk, dan dengan kebenaran seseorang menguasai dan menciptakan sebuah peradaban.
Kekuasaan di sini sangat erat kaitannya dengan konstruk kebenaran-kebenaran yang didasari oleh wacana-wacana atau pengetahuan yang terbentuk di dalam masyarakat itu sendiri. Wacana-wacana yang sedang berkembang atau dikembangkan di masyarakat menjadi semacam senjata ampuh untuk ‘menguasai’ sebuah tatanan masyarakat. Hal ini dikarenakan kekuasaan selalu mempunyai hubungan timbal balik dengan sebuah wacana atau pengetahuan. Seperti yang dikatakan Foucault:

“Kekuasaaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandalkan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan”.
Sebutan “gila” disorongkan oleh wacana yang berkembang terhadap orang lain atau kelompok yang berbeda  dengannya. Wacana-wacana inilah yang sebenarnya memangku sebuah kekuasaan. Dan lewat wacana yang dibentuk inilah kebenaran juga dapat diproduksi.  Dan melalui kebenaran timbullah efek kuasa dan menguasai.

Kuasa apapun bentuknya, menjadi elemen penting dalam pembentukan sebuah peradaban. Rakyat ataupun pengikut dipaksa untuk mengikuti kuasa tersebut, bahkan juga Sang Raja. Akibatnya, seluruh tatanan kehidupan menjadi rusak dan absurd.

No comments:

Post a Comment